Kamis, 01 April 2010

....Tentang Islam KTP....

Syahdan, seorang preman dalam kondisi mabuk mengamuk. Biar tidak pernah solat dan rajin maksiat, preman itu tidak terima Nabi Muhammad dihina dan dilecehkan oleh kawannya yang kebetulan beragama Kristen. Tersinggung berat, si preman naik pitam, dan menikam temannya yang menemaninya mabuk tinggi hari itu dengan sebilah belati. Seorang Ustad yang doyan teori konspirasi kemudian bertanya, apakah preman itu layak disebut Muslim?

Kata teman dulu, jadi Muslim itu harus kafah, mesti total, kudu all out. Ini perintah Tuhan, katanya. Tidak bisa ditawar-tawar. Anda tidak diperkenankan mengambil setengah dari ajaran Islam, dan kemudian menolak sebagiannya. Kalau Anda melakukan itu, Anda tak layak disebut Muslim. Kemudian saya bertanya kepadanya, apakah Anda sudah berislam secara kafah?

love-islam

Menurut Slavoj Zizek, ateis modern dan ekstrimis seperti Noordin M. Top itu sebenarnya tidak berbeda: keduanya sama-sama menganggap agama terlalu serius! Bedanya, yang pertama menganggapnya ‘terlalu serius’ untuk kemudian dijadikan bahan olokan, yang kedua menganggapnya ‘terlalu serius’ untuk dijadikan panduan hidup secara total. Ketika al-Qur’an bilang: Bunuhlah orang-orang kafir… ateis modern bilang, “Bagaimana mungkin kitab usang yang mengajarkan kekerasan ini kita jadikan panduan moral?” Sebaliknya, bapak M. Top bilang: “Ini kehendak Allah. Harus dikerjakan!”

Agama, kata Zizek, tidak bisa berfungsi dengan baik dalam kehidupan sosial apabila penganutnya menganggapnya terlalu serius. Itu sebabnya, meski tidak belajar ilmu tafsir, orang Islam bisa hidup berdampingan dengan non-Muslim di Indonesia. Karena mereka tahu ayat itu tidak perlu ditanggapi terlalu serius.

Saya menduga mayoritas orang beragama di dunia tahu hanya sedikit tentang agama yang mereka anut. Saya, misalnya, jarang sekali bertemu kawan Kristen yang biasa menyitir ayat dalam Injil, apalagi mendalami pemikiran mistikus macam Santo Paulus yang sangat elusif bin njlimet. Di Bali, kawan Hindu saya malah bilang tidak semua orang bisa membaca Kitab Suci. Dalam dunia Islam tidak jauh berbeda (jangan harap rekan kerja Anda mau repot belajar takhrijul hadist!). Jadinya, ya, kalau aktifis JIL punya segepok argumen untuk mengatakan jilbab itu tidak diwajibkan, sebagian besar kawan saya memutuskan untuk tidak mengenakan jilbab semata-mata karena mereka tidak mau mengenakannya. Mereka entah sekaligus mengabaikan diskursus tentang jilbab atau pura-pura tidak tahu bahwa sebenarnya ‘ayat jilbab’ itu ada. Kalau memang mau berargumentasi, paling banter bilang: “Aku belum siap sih. Kan yang perlu dijilbabin bukan hanya kepala, tetapi juga hati.”

Diskusi tentang jilbab itu, tentu aja, hanya satu dari segudang persoalan Islam yang sepertinya memang tidak bisa diselesaikan kecuali bila mereka diabaikan dalam arti tak usah dianggap terlalu serius: contohnya, apakah kita boleh dipimpin oleh seorang wanita atau non-Muslim? Apakah kita boleh berpacaran? Apakah bank konvensional itu termasuk riba? Apakah kita harus mendirikan negara Islam? Apakah kita mesti merajam suami dan istri yang berzinah? Apakah kita harus mendera pelaku seks pra-nikah? Apakah kita diperkenankan bergaul dengan orang kafir?

Saya teringat mereka yang rajin solat lima waktu dan puasa sebulan penuh, tetapi jarang sekali ke masjid, dan sama sekali tidak paham apa yang mereka baca ketika mereka ruku dan sujud. Atau mereka yang anti-sekularisme dan mengecam ‘ulama jahat‘ yang berfatwa jilbab itu tidak wajib, tetapi mereka sendiri tiap malam minggu tidak pernah absen jalan sama pacarnya yang seksi dan tidak berjilbab ke Blitz Megaplex. Ada yang malah solat terus, tapi maksiat terus. Ada yang tidak pernah solat dan hedonis tetapi dengan fasihnya berkata: “Saya tidak makan babi. Saya Muslim.” Singkat kata, saya sebenarnya mau bilang bahwa di dunia ini lebih banyak Islam KTP daripada Islam kaffah, atau Islam yang dianggap terlalu serius, seperti preman pasar yang tersinggungan itu atau kawan saya yang terlibat gerakan NII karena mau Islamnya kaffah.

Ini mungkin tak lebih dari sinisisme saya saja; mungkin betul mereka yang Islamnya cuma sampai di KTP itu bakal masuk neraka atau masuk surganya belakangan. Tetapi kalau Anda perhatikan baik-baik, bukankah agama menjadi penting hanya ketika Anda hendak menikah dan melakukan prosesi pemakaman? Bukankah agama itu bagusnya jadi obat putus asa dikala sedih saja, atau paling tidak buat acara OSIS dan Karang Taruna? Gimana? Ah, saya mohon maaf bila tulisan kali ini tidak enak dibaca dan menyinggung perasaan di bulan Ramadan, tetapi kalau mau jujur, bukankah kita tahu hanya sedikit soal Islam; tidak aktifis JIL, tidak intelektual muda NU dan Muhammadiyah, tidak FPI, tidak PKS, tidak bloger kritis, semua tahu sedikit saja soal agama, Islam dan juga agama-agama lain. Meski demikian, orang masih solat ke masjid, puasa Ramadan, buka puasa bersama, terawih, dinikahkan oleh penghulu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar