Minggu, 28 Maret 2010

....dosa besar dan dosa kecil....

DOSA BESAR DAN DOSA KECIL

Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ 31,

Apabila kamu menjauhi dosa-dosa besar yang telah dilarang bagimu untuk mengerjakannya, maka Kami hapuskan dosa-dosamu yang kecil dan Kami masukkan kamu kedalam tempat yang mulia (Surga).

Dari ayat di atas, jelas terdapat dua macam dosa, yakni dosa besar dan dosa kecil. Jelas pula bahwa Allah SWT berjanji bahwa jika seorang hamba menjauhkan diri dari dosa-dosa besar, maka Allah SWT memaafkan kesalahan/dosa kecil yang pernah dilakukannya. Haruslah kita ingat bahwa terdapat prasyarat untuk terpenuhinya (janji Allah SWT itu) yakni, semua yang fardlu (wajib) seperti halnya shalat, zakat, dan puasa, harus tetap dikerjakan dengan tertib dan teratur, sambil terus berusaha menjauhi dosa-dosa besar, sebab meninggalkan yang fardlu itupun tergolong melakukan dosa besar. Jadi, jika seorang hamba melaksanakan semua yang diwajibkan (fardlu) dan meninggalkan perbuatan dosa besar maka Allah SWT akan memaafkan dosa-dosa kecilnya.

Apakah dosa itu? Apa sajakah dosa-dosa kecil itu? Dan, apa saja pulakah yang tergolong dosa-dosa besar?
Dosa adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan kehendak dan perintah Allah SWT. Sampai disini belum dibedakan besar kecilnya dosa.
Abdullah bin Abbas berkata,

“ Setiap perbuatan menentang ajaran Islam adalah dosa besar.”

Oleh karena itu, jika dosa-dosa kecil dilakukan berulang-ulang, secara sembrono (serampangan), dan dikerjakan dengan terang-terangan, maka akan terangkum menjadi suatu dosa besar. Seorang ulama menerangkan pengaruh-pengaruh dosa kecil dan dosa besar dengan contoh berikut ini. Ia mengibaratkan dengan perbandingan sengatan kalajengking kecil dengan kalajengking besar. Juga ibarat rasa panas terbakar api kecil dibanding dengan terbakar api yang besar. Semuanya terasa sangat sakit, namun akibat yang ditimbulkan oleh yang besar menyisakan luka yang lebih parah. Begitu juga, kedua jenis dosa itu sama berbahayanya, akan tetapi kerusakan yang diderita akibat dosa besar lebih parah daripada dosa kecil.

Muhammad bin Ka’ab Kuradzi berkata, “Ibadah yang terbaik kepada Allah SWT adalah menjauhi segala dosa. Allah SWT tidak akan menerima shalat ataupun ibadah yang lain dari seseorang yang tidak menjauhi perbuatan dosa.” Demikian juga, Fudhail bin 'Iyyad berkata, “Semakin dianggap kecil suatu dosa oleh seseorang, semakin menjadi besar dosa itu di hadapan Allah SWT.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ketika seorang mukmin berbuat suatu dosa, dosa itu menjadi sebuah noda hitam pada hatinya. Jika ia menyesalinya (memohon ampunan) hilanglah noda itu. Jika ia tidak menyesali perbuatan itu maka noda itu akan membesar dan membesar sehingga menutupi seluruh hatinya.” Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya, Surat Al-Muthaffifin Ayat 14.

" Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu telah menutupi hati mereka"

Bilamana hati telah sepenuhnya tertutup oleh noda, tak satupun petunjuk dapat menembus kedalam hati dan orang sedemikian itu tidak akan mendapat manfaat dari peringatan-peringatan yang terdapat didalam Al-Qur’an. Hal ini ditekankan berulang-ulang didalam Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an adalah peringatan bagi mereka yang sadar atas adanya Tuhan dan terbuka hatinya untuk menerima petunjuk.

Marilah kita mengartikan dosa besar sesuai dengan cahaya petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut ulama', setiap dosa yang telah ditetapkan siksanya didalam Al-Qur’an; tentu saja Allah SWT yang menetapkan hal itu; atau dimana terdapat ancaman api neraka, tergolong pada dosa-dosa besar. Maka, sebagaimana telah diuraikan terdahulu dosa sekecil apapun jika selalu dilakukan secara sembrono dan terang-terangan akan berubah menjadi dosa besar. Seseorang menyebutkan kepada Ibnu Abbas RA bahwa hanya ada tujuh dosa besar. Ibnu Abbaspun mengatakan tidak hanya tujuh. Sebaiknya katakan saja tujuh ratus. Adapun Imam Ibnu Hajar Makki RA telah menguraikan daftar dosa besar sekaligus dengan penjelasannya yang terperinci didalam buku beliau, Kitabuzzawajir. Terdapat 468 (empat ratus enam puluh delapan) dosa besar, ini hanya ditinjau dari segi ketidak-patuhan terhadap Allah SWT.

Bagaimanakah termaafkannya sebuah dosa kecil? Sebagai contoh terhapusnya dosa-dosa kecil dijelaskan didalam sebuah Hadits yang menggambarkan sebagai berikut: Ketika seseorang berwudlu’, membasuh bagian-bagian kepala dan anggota badan, maka dosa-dosa yang berhubungan dengan bagian-bagian yang dibasuhnya itu pun hanyut oleh air wudlu bagaikan dedaunan kering di pepohonan yang berguguran diterpa angin. Ibaratnya, ketika kita berkumur-kumur maka terhapuslah dosa yang berasal dari lidah kita, ketika kita membasuh kaki maka terhapus dosa yang terjadi dengan melibatkan kaki-kaki kita. Pada waktu kita melangkahkan kaki menuju Masjid setelah berwudlu, setiap langkah kaki menjadi tebusan bagi dosa-dosa kecil yang telah kita perbuat. Adapun dosa besar tidak bisa kita hapuskan hanya dengan berwudlu ataupun mengerjakan shalat. Penghapusan dosa besar dilakukan dengan penyesalan yang tulus dan bersungguh-sunguh. Penyesalan atau taubat terdiri atas sedikitnya tiga unsur.
Pertama, orang yang berdosa besar harus mengenali dosanya dan mengakui bahwa ia telah berdosa. Ke-dua, ia harus berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Ke-tiga, haruslah ia merasa malu dengan perbuatannya itu dan secara tulus-ikhlas memohon ampunan-Nya. Karena itulah jika orang yang mengerjakan shalat dan menjalankan puasa namun masih melibatkan diri dalam perbuatan dosa besar, niscaya

Allah SWT tidak akan mengampuni dosa-dosanya, baik yang besar ataupun yang kecil. Nabi Muhammad SAW menyebutkan jumlah dosa besar itu berlainan jumlahnya tergantung pada waktu dan situasinya. Oleh karenanya para ulama sepakat bahwa tidak ada angka pasti perihal macam dan banyaknya dosa-dosa besar.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu tiga macam dosa yang paling besar, yakni: Mengada-adakan sekutu bagi Allah SWT, tidak patuh kepada kedua orangtuamu, dan memberikan kesaksian palsu.” (Bukhari dan Muslim)

Masih dari Hadits Bukhari dan Muslim, seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW perihal dosa besar. Jawaban beliau adalah menyekutukan Allah SWT. Kemudian dosa besar apakan yang berikutnya. Nabi Muhammad SAW menjawab, “Membunuh anak-anak karena khawatir atas tanggung-jawab memberi makan.” Kemudian orang itu masih bertanya dosa apalagi yang berikutnya. Nabi Muhammad SAW menjawab, “Berzina dengan istri tetangga.” Perlu diingat bahwa berzina saja sudah merupakan dosa besar. Disamping itu, seorang mukmin wajib melindungi keluarga tetangganya. Maka, berbuat zina dengan tetangga berarti melakukan kejahatan ganda.

Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Mencaci orang-tua sendiri adalah dosa besar.” Dengan rendah-hati sahabat bertanya, “Mungkinkah seseorang mencaci orang-tuanya sendiri?” Beliau menjawab, “Kamu mencaci orang tua seseorang, kemudian ia berbalik membalas mencaci orang-tuamu.” Jadi, mencaci orang-tua dari orang lain sama saja dengan mencaci orang-tuamu sendiri. (Shahihin)

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menyekutukan Allah SWT, membunuh orang lain tanpa alasan kuat, menyalah-gunakan harta anak yatim, melakukan riba’, melarikan diri dari pertempuran, melemparkan tuduhan (memfitnah) kepada perempuan-perempuan shalihah, tidak taat kepada ibu-bapak, dan tidak menghormati Baitullah, semua itu termasuk dalam kelompok dosa besar.” (Bukhari)

Rasulullah SAW juga bersabda, “Bilamana seseorang melemparkan tuduhan tanpa dasar hanya karena ingin melecehkan orang lain, atau untuk berputus asa terhadap kasih-sayang Allah SWT dan untuk melanggar hukum-hukum waris, itu semua termasuk dosa-dosa besar.” Menurut Hadits lain, menjamak dua shalat dalam satu waktu tanpa alasan yang sah menurut syariah juga merupakan dosa besar. Shalat hendaklah dikerjakan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.

Suatu kali Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah orang itu!” Beliau mengulangi sampai tiga kali. Abu Dzar RA pun dengan rendah-hati bertanya, “Siapakah dia Wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Seorang yang sombong, yang mengenakan pakaian begitu panjang sehingga menyentuh tanah, seorang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT lalu diceritakan kepada orang-orang untuk ketenaran dirinya, seorang yang telah lanjut usia namun berzina, seorang yang menduduki jabatan penting namun ia berkhianat, seorang yang telah diberkahi Allah SWT dengan keturunan yang banyak namun ia berlaku sombong, ataupun seorang yang mempertunjukkan ketaatkan kepada Imam (Pemimpin)-nya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan duniawi.” (Muslim)

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang-orang ini tidak akan masuk Surga: orang yang minum khamr (minuman beralkohol), orang yang tidak patuh kepada orang-tuanya, orang yang memutuskan silaturahim dengan saudara-saudaranya tanpa alasan yang benar, orang yang membanggakan dirinya kepada orang lain, orang yang menuruti perbuatan syeitan untuk meramalkan yang belum terjadi dan seorang yang tidak berusaha mencegah keluarganya dari perbuatan-perbuatan asusila (bertentangan dengan moral).” (Nasa’i dan Musnad Ahmad)
Nabi SAW bersabda, “Seorang pengadu-domba tidak akan masuk surga.” (Shahihain)

Saya memohon kepada Allah SWT agar mengampuni dosa-dosa kita yang kecil dan yang besar, dan memberi kita kesanggupan untuk mengikuti petunjuk-Nya yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Amiin

....akibat seorang muslim memelihara anjing....

Saat ini, begitu seringnya kita melihat orang yang memelihara anjing. Bahkan bukan hanya non muslim saja, sebagian kaum muslimin pun memelihara hewan yang jelas-jelas haram dan najis. Pada posting kali ini, kita akan melihat beberapa hadits yang berkenaan dengan memelihara anjing. Setelah membaca tulisan ini, silakan pembaca lihat, bagaimanakah hukum memelihara anjing untuk sekedar menjaga rumah? Apakah diperbolehkan?

Hadits Pertama
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أمسك كلبا فإنه ينقص كل يوم من عمله قيراط إلا كلب حرث أو ماشية

“Barangsiapa memelihara anjing, maka amalan sholehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud), selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak.”
Ibnu Sirin dan Abu Sholeh mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إلا كلب غنم أو حرث أو صيد

“Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu.”
Abu Hazim mengatakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كلب صيد أو ماشية

”Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” (HR. Bukhari)

[Bukhari: 46-Kitab Al Muzaro’ah, 3-Bab Memelihara Anjing untuk Menjaga Tanaman]


Hadits Kedua
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

“Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh).
An Nawawi membawakan hadits di atas dalam Bab “Perintah membunuh anjing dan penjelasan naskhnya, juga penjelasan haramnya memelihara anjing selain untuk berburu, untuk menjaga tanaman, hewan ternak dan semacamnya.”


Hadits Ketiga
Dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya –‘Abdullah-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh). ‘Abdullah mengatakan bahwa Abu Hurairah juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.”
An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab yang sama dengan hadits sebelumnya.


Hadits Keempat
Dari Salim bin ‘Abdullah dari ayahnya –‘Abdullah-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا أَهْلِ دَارٍ اتَّخَذُوا كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَائِدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

“Rumah mana saja yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qiroth (satu qiroth adalah sebesar gunung uhud).” (HR. Muslim: 23 Kitab Al Masaqoh). An Nawawi membawakan hadits ini dalam bab yang sama dengan hadits pertama.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Adapun memelihara anjing dihukumi haram bahkan perbuatan semacam ini termasuk dosa besar -Wal ‘iyadzu billah-. Karena seseorang yang memelihara anjing selain anjing yang dikecualikan (sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, pen), maka akan berkurang pahalanya dalam setiap harinya sebanyak 2 qiroth (satu qiroth = sebesar gunung Uhud).” (Syarh Riyadhus Shalihin, pada Bab “Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman”)


Kesimpulan:

Hukum memelihara anjing adalah haram dan termasuk dosa besar kecuali anjing yang digunakan untuk berburu, untuk menjaga tanaman dan hewan ternak.

Semoga Allah menjauhkan kita dari setiap perkara yang Dia larang. Hanya Allah yang beri taufik.


Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.


***

Pangukan, Sleman, 12 Rabi’ul Awwal 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

....Macam-Macam Shalat Sunnah....

Macam-Macam Shalat Sunnah

Shalat sunnah itu ada dua macam:

1. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
2. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan dilakukan secara berjamaah

A. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah

1. Shalat Idul Fitri

2. Shalat Idul Adha

Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku shalat Idul Fithri bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar, beliau semua melakukan shalat tersebut sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dilakukan 2 raka’at. Pada rakaat pertama melakukan tujuh kali takbir (di luar Takbiratul Ihram) sebelum membaca Al-Fatihah, dan pada raka’at kedua melakukan lima kali takbir sebelum membaca Al-Fatihah.

3. Shalat Kusuf (Gerhana Matahari)

4. Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)

Ibrahim (putra Nabi SAW) meninggal dunia bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Beliau SAW bersabda:

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena kehidupan (kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka shalatlah dan berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah ibnu Amr, bahwasannya Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk memanggil dengan panggilan “ashsholaatu jaami’ah” (shalat didirikan dengan berjamaah). (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dilakukan dua rakaat, membaca Al-Fatihah dan surah dua kali setiap raka’at, dan melakukan ruku’ dua kali setiap raka’at.

5. Shalat Istisqo’

Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id. (HR Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Tata caranya seperti shalat ‘Id.

6. Shalat Tarawih (sudah dibahas)

Dari ‘Aisyah Rda., bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat di masjid pada suatu malam. Maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau. Nabi shalat (lagi di masjid) pada hari berikutnya, jamaah yang mengikuti beliau bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat, mereka berkumpul (menunggu Rasulullah), namun Rasulullah SAW tidak keluar ke masjid. Pada paginya Nabi SAW bersabda: “Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan tadi malam, namun aku tidak keluar karena sesungguhnya aku khawatir bahwa hal (shalat) itu akan difardlukan kepada kalian.” ‘Aisyah Rda. berkata: “Semua itu terjadi dalam bulan Ramadhan.” (HR Imam Muslim)

Jumlah raka’atnya adalah 20 dengan 10 kali salam, sesuai dengan kesepakatan shahabat mengenai jumlah raka’at dan tata cara shalatnya.

7. Shalat Witir yang mengiringi Shalat Tarawih

Adapun shalat witir di luar Ramadhan, maka tidak disunnahkan berjamaah, karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.

B. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah

1. Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu), terdiri dari:

a. 2 raka’at sebelum shubuh
b. 4 raka’at sebelum Dzuhur (atau Jum’at)
c. 4 raka’at sesudah Dzuhur (atau Jum’at)
d. 4 raka’at sebelum Ashar
e. 2 raka’at sebelum Maghrib
f. 2 raka’at sesudah Maghrib
g. 2 raka’at sebelum Isya’
h. 2 raka’at sesudah Isya’

Dari 22 raka’at rawatib tersebut, terdapat 10 raka’at yang sunnah muakkad (karena tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW), berdasarkan hadits:

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW senantiasa menjaga (melakukan) 10 rakaat (rawatib), yaitu: 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 raka’at sesudah Isya’ di rumah beliau, dan 2 raka’at sebelum Shubuh … (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Adapun 12 rakaat yang lain termasuk sunnah ghairu muakkad, berdasarkan hadits-hadits berikut:

a. Dari Ummu Habibah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa senantiasa melakukan shalat 4 raka’at sebelum Dzuhur dan 4 raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya ada yang sunnah muakkad dan ada yang ghairu muakkad.

b. Nabi SAW bersabda:

“Allah mengasihi orang yang melakukan shalat empat raka’at sebelum (shalat) Ashar.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Huzaimah)

Shalat sunnah sebelum Ashar boleh juga dilakukan dua raka’at berdasarkan Sabda Nabi SAW:

“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)

c. Anas Ra berkata:

“Di masa Rasulullah SAW kami shalat dua raka’at setelah terbenamnya matahari sebelum shalat Maghrib…” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Nabi SAW bersabda:

“Shalatlah kalian sebelum (shalat) Maghrib, dua raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

d. Nabi SAW bersabda:

“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)

Hadits ini menjadi dasar untuk seluruh shalat sunnah 2 raka’at qobliyah (sebelum shalat fardhu), termasuk 2 raka’at sebelum Isya’.

2. Shalat Tahajjud (Qiyamullail)

Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 79, As-Sajdah ayat 16 – 17, dan Al-Furqaan ayat 64. Dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan jumlah raka’at tidak dibatasi.

Dari Ibnu Umar Ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Shalat malam itu dua (raka’at)-dua (raka’at), apabila kamu mengira bahwa waktu Shubuh sudah menjelang, maka witirlah dengan satu raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

3. Shalat Witir di luar Ramadhan

Minimal satu raka’at dan maksimal 11 raka’at. Lebih utama dilakukan 2 raka’at-2 raka’at, kemudian satu raka’at salam. Boleh juga dilakukan seluruh raka’at sekaligus dengan satu kali Tasyahud dan salam.

Dari A’isyah Rda. Bahwasannya Rasulullah SAW shalat malam 13 raka’at, dengan witir 5 raka’at di mana beliau Tasyahud (hanya) di raka’at terakhir dan salam. (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Beliau juga pernah berwitir dengan tujuh dan lima raka’at yang tidak dipisah dengan salam atau pun pembicaraan. (HR Imam Muslim)

4. Shalat Dhuha

Dari A’isyah Rda., adalah Nabi SAW shalat Dhuha 4 raka’at, tidak dipisah keduanya (tiap shalat 2 raka’at) dengan pembicaraan.” (HR Abu Ya’la)

Dari Abu Hurairah Ra., bahwasannya Nabi pernah Shalat Dhuha dengan dua raka’at (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dari Ummu Hani, bahwasannya Nabi SAW masuk rumahnya (Ummu Hani) pada hari Fathu Makkah (dikuasainya Mekkah oleh Muslimin), beliau shalat 12 raka’at, maka kata Ummu Hani: “Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada shalat (12 raka’at) itu, namun Nabi tetap menyempurnakan ruku’ dan sujud beliau.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

5. Shalat Tahiyyatul Masjid

Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” (HR Jama’ah Ahli Hadits)

6. Shalat Taubat

Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berdosa, kemudian ia bangun berwudhu kemudian shalat dua raka’at dan memohon ampunan kepada Allah, kecuali ia akan diampuni.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain)

7. Shalat Tasbih

Yaitu shalat empat raka’at di mana di setiap raka’atnya setelah membaca Al-Fatihah dan Surah, orang yang shalat membaca: Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar sebanyak 15 kali, dan setiap ruku’, i’tidal, dua sujud, duduk di antara dua sujud, duduk istirahah (sebelum berdiri dari raka’at pertama), dan duduk tasyahud (sebelum membaca bacaan tasyahud) membaca sebanyak 10 kali (Total 75 kali setiap raka’at). (HR Abu Dawud dan Ibnu Huzaimah)

8. Shalat Istikharah

Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah dalam segala hal … beliau SAW bersabda: ‘apabila salah seorang dari kalian berhasrat pada sesuatu, maka shalatlah dua rakaat di luar shalat fardhu …dan menyebutkan perlunya’ …” (HR Jama’ah Ahli Hadits kecuali Imam Muslim)

9. Shalat Hajat

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempunyai hajat kepada Allah atau kepada seseorang, maka wudhulah dan baguskan wudhu tersebut, kemudian shalatlah dua raka’at, setelah itu pujilah Allah, bacalah shalawat, atas Nabi SAW, dan berdoa …” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

10. Shalat 2 rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah

Dari Ka’ab bin Malik: “Adalah Nabi SAW apabila pulang dari bepergian, beliau menuju masjid dan shalat dulu dua raka’at.” (HR Bukhari dan Muslim)

11. Shalat Awwabiin

Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 25

Dari Ammar bin Yasir bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat setelah shalat Maghrib enam raka’at, maka diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih lautan.” (HR Imam Thabrani)

Ibnu Majah, Ibnu Huzaimah, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah Ra. Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat enam raka’at antara Maghrib dan Isya’, maka Allah mencatat baginya ibadah 12 raka’at.” (HR Imam Tirmidzi)

12. Shalat Sunnah Wudhu’

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berwudhu, ia menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua raka’at, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

13. Shalat Sunnah Mutlaq

Nabi SAW berpesan kepada Abu Dzar al-Ghiffari Ra.: “Shalat itu sebaik-baik perbuatan, baik sedikit maupun banyak.” (HR Ibnu Majah)

Dari Abdullah bin Umar Ra.: “Nabi SAW bertanya: ‘Apakah kamu berpuasa sepanjang siang?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dan kamu shalat sepanjang malam?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bersabda: ’Tetapi aku puasa dan berbuka, aku shalat tapi juga tidur, aku juga menikah, barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits terakhir ini menunjukkan bahwa shalat sunnah bisa dilakukan dengan jumlah raka’at yang tidak dibatasi, namun makruh dilakukan sepanjang malam, karena Nabi sendiri tidak menganjurkannnya demikian. Ada waktu untuk istirahat dan untuk istri/suami.

.

Wallahu a’lam

....Makanan dan Minuman haram....

Makanan/Minuman Haram Mar 14, '08 12:43 AM
for everyone
KAIDAH PENTING TENTANG MAKANAN


asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal. Allah berfirman.

“Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” [Al-Baqarah : 168]

Tidak boleh bagi seorang untuk mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Apabila seorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. FirmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan lebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [An-Nahl : 116]


MAKANAN HARAM

Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam Al-Qur’an satu persatu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya. Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah memerinci secara detail dalam Al-Qur’an atau melalui lisan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]

Perincian penjelasan tentang makanan haram, dapat kita temukan dalam surat Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut ;

“Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al-Maidah : 3]

Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram yaitu :

[1]. BANGKAI

Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sebagai berikut.

[a].Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
[b].Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
[c]. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati
[d]. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir]

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits.

“Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: " Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa." [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11]

Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda.

"Artinya : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11]

Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no. 480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Hadits Riwayat Daraqutni : 538]

Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. [Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi]

[2]. DARAH

Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya :

"Artinya : Atau darah yang mengalir" [Al-An'Am : 145]

Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24]

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: " Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama' yang mengharamkannya". [Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan]

[3]. DAGING BABI

Babi, baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama.

Hikmah pengharamannya karena babi adalah hewan yang sangat menjijikan dangan mengandung penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu,makanan kesukaan hewan ini adalah barang-barang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya dalam setiap iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam percobaan. Makan daging babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal yang dapat mematikan. Penelitian telah menyibak bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan adanya penyakit ganas yang sulit pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah 3/394-395]

[4]. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH

Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

[5]. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS

Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.

Al-Mauqudhah, Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

[6]. BINATANG BUAS BERTARING

Hal ini berdasarkan hadits :

"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" [Hadits Riwayat. Muslim no. 1933]

Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118-119).

Maksudnya "dziinaab" yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan". [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi]

Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. [Lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I'lamul Muwaqqi'in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani]

Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bukan pendapat orang....".

Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi'i berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. [Shahih. Hadits Riwayat Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507)]

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta'liqat Ar-Radhiyyah (3-28)

[7]. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM

Hal ini berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam" [Hadits Riwayat Muslim no. 1934]

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234) "Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya". Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung
yang berkuku tajam."

[8]. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)

Hal ini berdasarkan hadits

"Artinya : Dari Jabir berkata: "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". [Hadits Riwayat Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941]

Dalam riwayat lain disebutkan begini.

"Artinya : Pada perang Khaibar, mereka meneyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda" [Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811]

Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :

Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. [Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani]

Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha' bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: " Salafmu biasa memakannya (daging kuda)". Ibnu Juraij berkata: "Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani]

[9]. AL-JALLALAH

Hal ini berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki". [Hadits Riwayat. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih]

Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakan jallalah dan susunya." [Hadits Riwayat. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189]

Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya " [Hadits Riwayat Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648]

Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. [Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648]

Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya..."

Hukum jalalah adalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi'iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-'Ied dari para fuqaha' serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. [Lihat Fathul Bari (9/648)]

Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): "Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.". Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta'liqat Ar-
Radhiyyah (3/32).

[10]. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA

Berdasarkan hadits .

"Artinya : Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). [Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma'rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam FathulBari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390)]

Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhab baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi).

“Artinya : Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." [Hadits Riwayat Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943]

Demikian pula hadits Ibnu Abbas dari Khalid bin Walid bahwa beliau pernah masuk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata : Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan !, lalu merekapun berkata : Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab. Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya. Aku bertanya : Apakah daging ini haram hai Rasulullah? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung kaumku sehingga akupun merasa tidak enak memakannya. Khalid berkata : Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. [Hadits Riwayat Bukhari no. 5537 dan Muslim no. 1946]

Dua hadit ini serta banyak lagi lainnya –sekalipun lebih shahih dan lebih jelas- tidak bertentangan dengan hadits Abdur Rahman bin Syibl di atas atau melazimkan lemahnya, karena masih dapat dikompromikan diantara keduanya.Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/666) menyatukannya bahwa larangan dalam hadits Abdur Rahman Syibl tadi menunjukkan makruh bagi orang yang merasa jijik untuk memakan dhab. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bolehnya dhab, maka ini bagi mereka yang tidak merasa jijik untuk memakannya. Dengan demikian, maka tidak melazimkan bahwa dhab hukumnya makruh secara mutlak. [Lihat pula As-Shahihah (5/506) oleh Al-Albani dan Al-Mausu’ah Al-Manahi As-Syar’iyyah (3/118) oleh Syaikh Salim Al-Hilali]

[11]. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH

"Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam." [Hadits Riwayat Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking: gantinya "ular"]

Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan" [Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi]

"Artinya : Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak" [Hadits Riwayat. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129) : "Tokek/cecak telah
disepakati keharaman memakannya".

[12]. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH

"Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad " [Hadits Riwayat Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916]

Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya." [Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh Nawawi]

Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. [Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi]

"Artinya : Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya” [Hadits Riwayat Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani]

Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafi'i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak. [Lihat pula Al-Majmu' (9/35), Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma'bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam]

[13]. BINATANG YANG HIDUP DI DUA ALAM

Sebagai penutup pembahasan ini, ada sebuah pertanyaan : “Adakah ayat Qur’an atau Hadits shahih yang menyatakan bahwa binatang yang hidup di dua alam haram hukum memakannya seperti kepiting, kura-kura, anjing laut dan kodok?”.

Jawab secara umum : Perlu kita ingat lagi kaidah penting tentang makanan yaitu asal segala jenis makanan adalah halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya. Dan sepanjang pengetahuan kami tiddak ada dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya "asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yangmengharamkannya. [Lihat pula “Soal jawab” Juz. 2 hal. 658 oleh Ustadz A Hassan dkk]

Adapun jawaban secara terperinci :

Kepiting - hukumnya halal sebagaimana pendapat Atha' dan Imam Ahmad. [Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm]

Kura-kura dan Penyu - juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha', Hasan Al-Bashri dan fuqaha' Madinah. [Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84]

Anjing laut - juga halal sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi'i, Laits, Sya'bi dan Al-Auza'i [Lihat Al-Mughni 13/346]

Katak/kodok - hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu A’lam

Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan. Apabila benar, maka itu dari Allah dan apabila salah, maka hal itu karena kemiskinan penulis dari perbendaharaan ilmu yang mulia ini dan penulis menerima nasehat dan kritik pembaca semua.


Oleh
Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

[Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 12 Tahun II/Rojab 1424. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat : Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]


sumber:
http://www.almanhaj.or.id/content/2062/slash/0
http://www.almanhaj.or.id/content/2062/slash/1

....perbedaan Nabi dan Rosul....

Perbedaan Nabi dan Rasul

Ibnu Abil ‘Izz al Hanafi mengatakan bahwa mereka telah menyebutkan perbedaan antara nabi dan rasul dan yang terbaik adalah bahwa orang yang diberikan berita oleh Allah swt dengan berita dari langit, jika dia diperintahkan untuk menyampaikannya kepada orang lain maka ia adalah nabi dan rasul sedangkan jika dia tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang lain maka ia adalah nabi dan bukan rasul. Rasul lebih khusus daripada nabi, setiap rasul adalah nabi dan tidak setiap nabi adalah rasul. (Syarh ath Thahawiyah fii ‘Aqidah as Salaf hal 296)

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa nabi adalah seorang manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan suatu syariat untuk diamalkan akan tetapi dia tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan Rasul adalah seorang manusia yang diberikan wahyu dengan suatu syariat untuk diamalkan dan dia diperintahkan untuk menyampaikannya. Setiap rasul adalah nabi dan tidak setiap nabi adalah rasul.
Muhammad saw adalah seorang nabi dan rasul. Firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا


Artinya : “Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan.” (QS. Al Ahzab : 45)

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا


Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)

Kedua ayat tersebut menggabung tentang sifat kenabian dan kerasulan (dalam diri Muhammad saw)

Terkadang suatu lafazh menempati lafazh yang lainnya, sebagaimana firman Allah swt :

وَكَمْ أَرْسَلْنَا مِن نَّبِيٍّ فِي الْأَوَّلِينَ

وَمَا يَأْتِيهِم مِّن نَّبِيٍّ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِؤُون


Artinya : “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zukhruf : 6 – 7) –Fatawa al Azhar juz VIII hal 101)

Bagaimana Dengan ke-25 Nabi Didalam Al Qur’an

Urutan para nabi yang disebutkan didalam Al Qur’an adalah Adam, Idris, Nuh, Huud, Shaleh, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub. Yusuf, Ayyub, Syuaib, Musa, Harun, Dzulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa’, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad saw.
Tentang Adam as—menurut Syeikh Muhammad Shaleh al Utsaimin—bukanlah rasul akan tetapi ia adalah seorang nabi, sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban didalam shahihnya bahwa Nabi saw ditanya tentang Adam apakah dia seorang nabi?” Beliau saw menjawab,”Ya, dia adalah nabi yang diajak bicara.”.

Akan tetapi dia bukanlah seorang rasul berdasarkan firman Allah swt :

Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan.” (QS. Al Baqoroh : 213) serta sabda Rasulullah saw didalam hadits syafaat, bahwa manusia mendatangi Nuh lalu mereka mengatakan,”Anda adalah rasul pertama yang diutus Allah swt kepada penduduk bumi.” Ini adalah nash yang jelas bahwa Nuh adalah rasul pertama. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin hal 154)

Ada yang mengatakan bahwa Rasul adalah orang yang diutus dengan membawa syariat baru dan diperintahkan untuk menyampaikannya sedangkan nabi adalah orang yang diutus untuk memperbaharui syariat sebelumnya.

Dari definisi diatas, berarti Ismail, Ishaq, Sulaiman dan kebanyakan nabi Bani Israil as adalah para nabi dan bukan rasul. Sesunguhnya Ismail dan Ishaq diutus dengan syariat Ibrahim dan sebagian nabi Bani Israil menyeru dengan apa yang diturunkan kepada Musa berupa taurat, ini adalah pendapat Imam Syaukani dan Alusi didalam tafsirnya. (Markaz al Fatwa no. 51071)

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa tidak semua nabi yang berjumlah 25 orang yang disebutkan didalam al Qur’an adalah rasul.

Wallahu A’lam

....hukum islam tentang nikah siri....

Hukum Islam Tentang Nikah Siri


Soal :

Saat ini masih ramai pembicaraan tentang nikah siri. Pro-kontra pun terjadi. Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang nikah siri?

Jawab :

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.

Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?

Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.

Hukum Pernikahan Tanpa Wali

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

لا نكاح إلا بولي

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):

Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.

Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.

Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.

Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.

Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

Bahaya Terselubung Surat Nikah

Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;

Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.

Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.

Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.

Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).

....Fatwa Larangan Merokok menurut MUI....

Diterbitkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan, larangan merokok bagi anak-anak, ibu hamil dan merokok di tempat umum, mendapat dukungan dari Komnas Perlindungan Anak. Bagi Komnas Perlindungan Anak, yang telah difatwakan MUI merupakan langkah yang win – win solustion.
Fatwa MUI yang melarang merokok bagi anak – anak merupakan langkah untuk melindungi pertumbuhan kesehatan generasi muda, dari pengaruh negatif merokok itu sendiri.
Hal tersebut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) Seto Mulyadi atau Kak Seto ungkapkan, usai menemui para korban dugaan kekerasan fisik dan pelecehan seksual mantan murid SMP Terlkom Terpadu AKN Marzuqi, di Kantor LBH Advokasi Nasional, di Jl. Raya Pati – Kayen, Senin, 26 Januari 2009 lalu.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, fatwa haram yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia [MUI], merupakan langkah yang win – win solution, yang diarahkan kepada anak-anak, ibu hamil, dan ditempat umum. “Konsentrasi kami, memang lebih difokuskan pada perlindungan anak dari asap rokok. Dimana asap rokok tersebut mengandung racun yang cukup berbahaya bagi proses tumbuh-kembang anak”, Sebetulnya dari arah pertama kami menghadap MUI di Jakarta, arah kami adalah pada anak – anak lebih dulu. Bahwa kemudian disadari kepentingan juga bagi orang dewasa ya, adalah langkah lebih lanjut untuk dipikirkan masyarakat yang sangat tergantung terhadap tembakau dan sebagainya. Jadi sekali lagi ini merupakan langkah win-win solution. Sehingga tidak menimbulkan problematik baru”, jelas Ketua Komnas PA yang akrab disapa Kak Seto.
Dengan diawali dari fatwa yang melarang merokok bagi anak-anak, ibu hamil, dan ditempat umum, diharapkan masyarakat umum dapat melindungi warga negara yang memang tidak merokok, serta terhindar dari paparan asap rokok secara pasif. “Saya kira ini apreasiasi dari MUI, untuk tetap dapat mengambil langkah tengah yang dapat win – win solution bagi berbagai pihak. Ya itu memang sepenuhnya menjadi kewenangan ulama, karena bagaimanapun juga ulama yang memahami ini, karena ini juga untuk semua umat”, katanya.
Ketua Komnas Perlindungan Anak yang akrab disapa Kak Seto masih banyak berharap dengan keberhasilan fatwa larangan merokok dari MUI tersebut. Tetapi Komnas Perlindungan Anak, tetap konsisten memperjuangkan hak – hak anak, untuk tumbuh kembang, hak untuk sehat dan terhindar dari paparan asap rokok tersebut.

....Pembagian hukum islam....

Pembagian Hukum Islam

A.Mengenali Rambu-rambu Agama
Dalam Islam, aturan praktik kehidupan kita sehari-hari disebut sebagai hukum Islam. Literatur islam menyatakan hukum sebagai isbatu syaiin au nafyun ‘anhu (menetapkan sesuatu pada sesuatu atau tidak menetapkan). Seperti contoh, seandainya kita suatu hari pergi ke pasar. Kita menemukan barang yang kita sukai dan ingin memilikinya. Kita tahu barang tersebut tidak boleh langsung saja kita miliki tanpa suatu prosedur tertentu. Kita harus membayarnya terlebih dahulu kepada penjualnya sesuai dengan harganya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa membayar adalah hal yang harus dilakukan. Dengan kata lain, kita menetapkan bahwa status membayar itu adalah harus atau wajib.

Secara istilah, terdapat perbedaan - perbedaan antara ahli usul fikih dan ahli fikih dalam memandang pengertian hukum. Bukan sebuah perbedaan yang bertentangan dimana yang satu salah sedangkan yang lainnya benar antara ahli usul fikih dan ahli fikih dalam memandang pengertian hukum. Melainkan karena perbedaan bidang garap antara kedua ilmu itu (fikih dan usul fikih). Dari sisi pandang ahli usul, Hukum sebagai khitab Allah SWT , yang menuntut seseorang (mukallaf) untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan (melarang) atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain. Jadi kita memandang hukum dari sisi pembuat hukum (Khitab Allah atau dalil yang lain). Berbeda dari mereka, dari sisi pandang ahli fikih hukum sebagai efek yang muncul pada perbuatan (atau statusnya) sebagai akibat adanya khitab Allah atau dalil lainnya. Dari sini kita memandang hukum sebagai produk atau akibat dari adanya perintah atau larangan Allah.
Agar kita dapat mudah memahami, perhatikan contoh berikut.


Artinya:Dan laksanakanlah salat, tunaikan zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk (Q.S albaqarah [2] :43)

Pada ayat di atas Allah swt mengeluarkan suatu pernyataan (khitab) kepada kita untuk melakukan suatu perbuatan (salat, zakat, rukuk). Para ahli usul fikih memandang tuntutan Allah kepada kita untuk melaksanakan salat itulah yang disebut hukum. Sedangkan menurut ahli fikih, kewajiban salat yang merupakan akibat dari adanya pernyataan itulah yang di sebut hukum.
Secara umum para ulama membagi hukum menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi merupakan khitab Allah tentang sesuatu yang menuntut mukhalaf untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Hukum ini terbagi menjadi empat hal, yaitu ijab atau wajib, nadb (mandub atau sunah), tahrim (haram), dan karahah (makruh).

2. Hukum Takhyri
Takhyri artinya memilih. Maksudnya, ada kalanya Allah memberi kebebasan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hukum ini disebut ibahah (mubah), halal atau jaiz (boleh). Dengan kata lain, perbuatan itu boleh dikerjakan atau tidak dikerjakan tanpa membawa konsekuensi apapun, baik pahala maupun dosa.

3. Hukum Wad’i
Kata wad’I diartikan sebagai kondisi, keadaan, posisi. Hukun wad’i dipahami sebagai khitab Allah yang menyatakan bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya yang lain. Misalnya, Salat itu wajib. Tetapi salat tidak sah hukumnya bila dilaksanakan tanpa wudhu. Karena itu kewajiban salat menjadi sebab munculnya kewajiban wudhu ketika kita akan melaksanakan salat.Walaupun kita juga boleh (tidak wajib) berwudhu meski tidak berniat untuk salat. Hukum wad’i ini terbagi menjadi tujuh macam yaitu : sebab, syarat, mani’(penghalang), rukhsah (keringanan), azimah (hukum asal), sihhah (sah), dan butlan (batal).

Ada lima hukum yang akan kita pelajari yaitu wajib,sunah, mubah, makruh, dan haram.

1. Wajib
Wajib atau sering disebut ijab merupakan khitab pernyataan Allah swt yang menuntut kita untuk melaksanakan sesuatu. Dengan kata lain, perbuatan itu mempunyai status fardu atau wajib, yang berari mendapatkan pahala bila dikerjakan dan mendapatkan dosa bila ditinggalkan.
Dalam hal ini kita melihat istilah fardu dan wajib.Menurut para ahli fardu itu bila perbuatan tersebut di perintahkan kepada kita melalui dalil yang qat’i (jelas), yaitu nas Al-qur’an dan hadis mutawir. Sedangkan status wajib dikenakan apabila perbuatan itu didasarkan pada dalil yang zanni yaitu hadis ahad atau ijtihad ulama. Namun, pada pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari, perbedaan ini tidak lagi dipersoalkan. Karena itu tidak sedikit ulama yang menyamakan antara fardu dan wajib serta hanya memegang esensi bahwa keduanya merupakan perbuatan yang harus dikerjakan dan berdosa bila kita meninggalkannya.

Kita dapat mengenali bahwa pernyataan Allah itu merupakan perintah wajib dengan mengenali perintah-perintah itu dari bentuk kalimat yang ada pada Al qur’an dan hadis nabi. Bentuk kalimat yang paling umum digunakan dan di asumsikan sebagai perintah adalah bentuk fi’il amr (bentuk kalimat perintah). Akan tetapi, walaupun secara umum fi’il amr berarti perintah wajib, perlu diperhatikan tidak semua bentuk perintah berarti wajib.Ada juga yang menunjuk pada status sunah.

Selain bentuk fi’il amr, Kita juga dapat mengenali hukum wajib pada kalimat-kalimat Al qur’an dan hadis yang menggunakan kata fardu atau hukum wajib atau kata yang searti. Misalnya kata farada atau kutiba yang banyak pada Al qur’an , hadis, atau kata wajaba, yang biasannya merupakan hasil ijtihad para ulama atau dalil Al qur’an dan hadis. Perhatikan ayat di bawah ini.



Artinya: Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kanu berpuasa sebagaimana di wajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S al- baqarah [2]:183)

Ayat ini menggunakan kata kutiba yang sama artinya dengan farada. Melihat redaksi ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa puasa itu hukumnya wajib.Esensi dari perintah wajib ini adalah sesuatu hal yang harus di lakukan, baik karena di perintahkan oleh Allah dan rasul-Nya maupun karena perbuatan itu harus di lakukan,menurut perhitungan akal dan nurani kita.

Hukum wajib dapat dilihat dalam beberapa aspek,diantaranya sbb.

1. Dilihat dari aspek kepada siapa hukum itu di bebankankan.

a.Wajib ‘ain
Wajib ini dibebankan kepada masing-masing individu mukallaf,dimana kewajiban itu tidak boleh diserahkan kepada orang lain.Misalnya salat 5 waktu.
b. Wajib Kifai (kifayah)
Kewajiban ini dibebankan kepada komunitas kaum islam. Apabila sebagian orang telah menunaikannya, maka yang lain terbebas dari beban hukum. Namun, apabila tidak ada seorang pun yang tidak melaksanakannya, maka seluruh anggota komunitas itu berdosa. Misalnya ,pengurusan jenasah.

2. Dilihat dari waktu penunaian kewajiban.
a. Wajib mutlak, yang tidak ditentukan waktu pelaksanaanya. Misal kalau kita berutang puasa,maka kapan kita mau membayarnya tidak ditentukan waktunya. Boleh kapan saja.
b. Wajib mu’aqqad yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya dengan jelas dengan dalil-dalil agama. Misal salat 5 waktu.

3. Dilihat dari aspek junlah atau ukuran penunaian kewajiban.
a. Wajib muhaddad
Allah telah menentukan dengan jelas jumlah atau ukuran yang harus kita kerjakan.Misal jumlah rakaat salat.
b. Wajib gairu muhhaddad
Pada kewajiban ini, Allah tidak menunjukan jumlah atau ukuran yang harus kita lakukan. Misalnya jumlah infak/ sadakah.

4. Dilihat dari kebolehan jenis perbuatan yang harus dilakukan.
a. Wajib mua’ayyan
Pada kewajiban ini Allah telah menetapkan jenis perbuatan yang harus di lakukan secara jelas dan pasti. Sehingga kita tidak boleh menawar atau memilih alternatif lain.Misalnya salat 5 waktu.
b. Wajib mukhayyar
Pada kewajiban ini Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memilih salah satu diantara beberapa alternatif yang ada.

2. Sunah

Status hukum kedua dalam islam adalah sunah atau nadb.Selain menurut mukallaf untuk mengerjakan serta menghukumnya bila tidak mengerjakan, adakalanya Allah dan rasul-Nya memerintahkan suatu perbuatan,tetapi tidak harus dikerjakan bahkan ditinggalkan pun tidak apa-apa. Dengan kata lain perbuatan itu sunah atau mahdub, yang berarti kita akan mendapatkan pahala bila mengerjakannya tetapi tidak berdosa bila tidak mengerjakannya.

Namun sebagian ulama membedakan pengertian sunah dan mahdub ini. Menurut mereka sunah menunjuk pada perbuatan yang selalu dilakukan olen Rasullullah , kecuali ada uzur. Misalnya salat tahajud. Sedangkan mahdub menunjuk pada amalan yang disukai Nabi saw. Tetapi beliau jarang melakukannya. Misalnya puasa 6 hari di bulan syawal.

Kita dapat menentukan suatu perbuatan bersifat sunah dan mahdub dengan cara diantaranya ada hadis yang menggunakan yang jelas-jelas mengacu pada hukum sunnah seperti kata yusannu kaza atau yundabu kaza. Seperti contoh dibawah ini.




Artinya : Disunnahkan bagi orang yang salat untuk membaca surah atau ayat dari Al qur’an setelah ia membaca surah al-Fatihah pada dua rakaat salat subuh dan salat Jum’at, dua rakaat awal salat zuhur, ashar, maghrib, dan isya, dan semua rakaat salat sunnah.

Perlu diketahui, indikator lain atau keterangan pada suatu perintah tidak selamanya berasal dari Alqur’an, adakalanya dalam hadis nabi ataupun ijtihat para ulama.

Terkait dengan sunnah, ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu:
a. Sunnah muakad
Sunnah ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Rasullullah senantiasa melaksanakannya dalam kehidupan beliau. Walau sangat dianjurkan, kita tidak berdosa bila tidak melaksanakannya.
b. Sunnah gairu muakad ( Sunnah zaidah )
Sunnah ini tidak sepenting sunnah muakad. Terhadap sunnah ini terkadang Rasullulah melaksanakannya, Kadang tidak meski tidak ada aral yang menghadang.
c. Sunnah mustahab
Sunnah ini biasa di sebut fadilah (keutamaan) karena dilaksanakan untuk menyempurnakan amal perbuatan yang kita lakukan.

3. Mubah

Adakalanya Allah swt memberi kebebasan kita untuk melakukan atau tidak melakuakan suatu perbuatan. Khitabini biasa disebut ibahah. Dengan kata lain, perbuatan yang terkait dengan khitab ibahah ini mempunyai status hukum mubah, atau halal atau jaiz yaitu dikerjakan atau tidak, tidak akan konsekuensi pahala atau dosa.

Pada dasarnya,segala perbuatan dalam bidang muamalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Prinsip ini dalam ilmu usul fikih disebut Bara’ah Asliyah (bebas menurut asalnya) dan sesuai dangan salah satu kaidah usul fikih.

Selain prinsip dasar itu, kita juga dapat mengenali perbuatan mubah ini dalam Alqur’an dengan kalimat-kalimat yang digunakan , salah satunya dengan kalimat uhilla (dihalalkan). Redaksi ini dapat dengan jelas di temukan pada Surah al-maidah ayat 96 berikut ini.



Artinya:Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan( yang berasal) dari laut sebagai makan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.

Satu hal yang perlu diperhatikan, walaupun pada dasarnya semua perbuatan bidang dalam bidang muamalah itu diperbolehkan sampai pada dalil yang melarangnya,bukan berarti kita kita lantas bebas berbuat dengan alasan tidak ada larangannya. Bisa jadi larangan itu ada tetapi tidak kita ketahui, maka kita menganggapnya tidak ada. Kita dapat menggunakan hati nurani kita untuk memutuskan apakah perbuatan itu baik atau tidak dan benar atau salah.

4. Makruh

Selain menuntut kita untuk melaksanakan perbuatan yang baik ada juga khitab Allah yang menyuruh kita untuk tidak melakukan sessuatu. Khitab ini terdiri atas karahah (makruh) dan tahrim (haram).
Allah menetapkan dua hukum tersebut karena Allah mengetahui manusia berpotensi sangat besar untuk menyimpang. Maka sebagai sayangnya Allah memberikan anjuran yang tidak ketat untuk meniggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik.

Khitab Allah yang menghendaki kita untuk meninggalkan suatu perbuatan, walaupun tidak berdosa pula bila dikerjakan disebut karahah atau makruh. Khitab ini dapat kita kenali dalam dalil-dalil agama dengan menggunakan kalimat karraha (memakruhkan ) dan semua kata yang semakna dengannya, atau dengan khitab yang menggunakan kalimat larangan ataupun kalimat perintah yang tidak menunjukkan keharaman.Seperti contoh di bawah ini.





Aritnya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk melaksanakian salat pada hari jum’at maka segeralah menigngat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S al-jumu’ah [62]:90)

Khitab Allah di atas menggunakan kalimat perintah (fi’il amr) yang tidak mengharamkan. Dengan demikian, walaupun menggunakan kalimat perintah untuk meninggalkan, bukan berarti jual beli itu haram.

Sebenarnya perbuatan makruh ini tidak hanya dapat dikenal melalui khitab-khitab Allah dan rasul-Nya. Akan tetapi, akal dan nurani ktapun dapat juga menemukan serta mengenalinya. Dari sini makruh dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: makruh tanzih,tarkul aula, dan makruh tahrim. Makruh tanzih adalah melakukan suatu perbuatan yang lebih baik ditinggalkan. Tarkul aula adalah meninggalkan sesuai yang sebaiknya dikerjakan. Sedangkan makruh tahrim dapat berupa yang dilarang dengan dasar dalil zanni atau dengan perintah larangan dengan dalil qat’I yang tidak mengharamkan secara tegas.

5. Haram

Hukum taklifi yang terakhir adalah tahrim atau haram. Tahrim termasuk khitab Allah yang melarang sesuatu. Hanya saja, berbeda dari karahah, larangan larangan pada tahrim ini lebih tegas dan dilengkapi sanksi bagi siapa yang melakukanya.

Diantara dalil-dalil yang mengacu pada hukum haram atau tahrim ini adakalanya menyebutkan dengan kalimat yang jelas seperti haramma atau hurimma.Seperti pada surah al-Maidah[5] ayat 3.







Artinya:Diharamkan bagimu (memakan )bangkai, darah, dagingbabi, dan (daging) hewan yang disembelihbukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas,kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah). (Karena)itu suatu perbuatan fasik. (Q.S al-Maidah [5]:3 )

Para ulama membagi haram ini dalam dua kelompok yaitu haram lizatihi dan haran ligairihi.
Haram lizatihi.Haram dengan dirinya sendiri. Perbuatan-perbuatan yang jelas ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah sebagai haram sejak semula karena secara tegas secara tegas mengandung kemafsadatan (kerusakan)masuk dalam kelompok ini.Seperti mencuri, minum miras,dsb.
Haram ligairihi. Haram dengan sebab dari luar dirinya. Haram ini kadang kala disebut juga sebagai haram li ardihi. Perbuatan –perbuatan yang termasuk dalam kelompok ini sebenarnya sesuatu yang tidak haram, tetaoi kemudian menjadi haram karena sebab-sebab diluar perbuatan itu.Misalnya makan bakso tanpa bayar maka menjadi haram, padahal bakso adalah makanan yang halal.

....Jenis-senis najis dan contohnya....

Jenis/Macam-Macam Najis - Mukhaffafah, Mutawassithah dan Mughallazhah



Dalam agama islam mengajarkan kita untuk selalu bersih dari kotoran atau najis, terutama pada saat hendak melakukan ibadah kepada Allah SWT. Najis bisa menempel di badan/tubuh, di pakaian atau di suatu tempat. Najis terbagi atas beberapa tingkatan dari mulai yang ringan sampai yang berat.

1. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)

Yang termasuk najis ringan ini adalah air seni atau air kencing bayi laki-laki yang hanya diberi minum asi (air susu ibu) tanpa makanan lain dan belum berumur 2 tahun. Untuk mensucikan najis mukhafafah ini yaitu dengan memercikkan air bersih pada bagian yang kena najis.

2. Najis Mutawassithah (Najis Biasa/Sedang)

Segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang/hewan adalah najis biasa dengan tingkatan sedang. Air kencing, kotoran buang air besar dan air mani/sperma adalah najis, termasuk bangkai (kecuali bangke orang, ikan dan belalang), air susu hewan haram, khamar, dan lain sebagainya.

Najis Mutawasitah terdiri atas dua bagian, yakni :
- Najis 'Ainiyah : Jelas terlihat rupa, rasa atau tercium baunya.
- Najis Hukmiyah : Tidak tampat (bekas kencing & miras)

Untuk membuat suci najis mutawasithah 'ainiyah caranya dengan dibasuh 1 s/d 3 dengan air bersih hingga hilang benar najisnya. Sengankan untuk najis hukmiyah dapat kembali suci dan hilang najisnya dengan jalan dialirkan air di tempat yang kena najis.

3. Najis Mughallazhah (Najis Berat)

Najis mugholazah contohnya seperti air liur anjing, air iler babi dan sebangsanya. Najis ini sangat tinggi tingkatannya sehingga untuk membersihkan najis tersebut sampai suci harus dicuci dengan air bersih 7 kali di mana 1 kali diantaranya menggunakan air dicampur tanah.

Tambahan :
Najis Ma'fu adalah najis yang tidak wajib dibersihkan/disucikan karena sulit dibedakan mana yang kena najis dan yang tidak kena najis. Contoh dari najis mafu yaitu seperti sedikit percikan darah atau nanah, kena debu, kena air kotor yang tidak disengaja dan sulit dihindari. Jika ada makanan kemasukan bangkai binatang sebaiknya jangan dimakan kecuali makanan kering karena cukup dibuang bagian yang kena bangkai saja.

- Semoga kita semua bisa selalu bebas dan bersih dari najis yang mengganggu.

Kamis, 25 Maret 2010

....Halal dan haram dalam islam....

Mendamaikan Persengketaan

Kalau cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan keharusan bersaudara, maka bagi masyarakat Islam mempunyai kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian masyarakat Islam yaitu suatu masyarakat yang saling saling membantu dan saling menolong. Oleh karena itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya bertengkar dan saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas. Bahkan setiap orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus terjun ke gelanggang guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat semata-mata mencari kebenaran dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Seperti apa yang difirmankan Allah:

"... maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (al-Hujurat: 10)

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang keutamaan mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan perpisahan. Sabda Rasulullah s.a.w.:

"Maukah kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada tingkatan keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka menjawab: Baiklah ya Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.: yaitu mendamaikan persengketaan yang sedang terjadi; sebab kerusakan karena persengketaan berarti menggundul, saya tidak mengatakan menggundul rambut, tetapi menggundul agama." (Riwayat Tarmizi dan lain-lain)

angan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain

Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan manusia.

Larangan pertama. tentang memperolokkan orang lain. Oleh karena itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan."

Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.

Dalam hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)

Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya, perangainya atau karena kemiskinannya?

Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)

Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan,

Firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata: 'Sungguh mereka itu orang-orang yang sesat.' Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka. Oleh karena itu pada hari ini orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang kafir itu." (al-Muthaffifin 29-34)

Ayat ini31 dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini menunjukkan, bahwa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang biasa terjadi di kalangan mereka.

Jangan Mencela Diri-Diri Kamu

Larangan kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan) dan ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: 'aib (cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya.

Penafsiran ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat. Seperti kata seorang penyair:

Luka karena tombak masih dapat diobati
Tetapi luka karena lidah berat untuk diperbaiki.
Bentuk larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.

Ayat tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh. Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri. Karena dia itu dari dan untuk saudaranya.
4.4.2.3 Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik

Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan beberapa gelar yang tidak baik, yaitu suatu panggilan yang tidak layak dan tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.

Tidak layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini bisa menyebabkan berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan dan perasaan yang tinggi.
4.4.2.4 Su'uzh-Zhan (Berburuk Sangka)

Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,

Untuk itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa." (al-Hujurat: 12)

Sangkaan yang berdosa, yaitu sangkaan yang buruk.

Oleh karena itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya bersih. Oleh karena itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini justru untuk menuduh. Sabda Nabi:

"Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan." (Riwayat Bukhari)

Manusia karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan baik.

Oleh karena itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.

Inilah makna hadis Nabi yang mengatakan:

"Kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat Thabarani)

Tajassus (Memata-matai)

Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh karena itu larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi karena adanya tajassus.

Setiap manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan bersembunyi.

Abul Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi-- berkata: saya pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi nasehatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya larang tetapi mereka tidak mau berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:

"Barangsiapa menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)

Rasulullah s.a.w. menilai, bahwa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w, pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras:

"Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat saudara muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam perjalanan yang jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

Maka demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi:

"Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk menusuk matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Diharamkan juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya. Sabda Nabi:

"Barangsiapa mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah." (Riwayat Bukhari)

Al-Quran mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada penghuninya.

Firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk, sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge tahui apa saja yang kamu kerjakan." (an-Nur: 27-28)

Di dalam hadis Nabi, juga dikatakan:

"Barangsiapa membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)

Nas-nas larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda:

"Sesungguhnya kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu." (Riwayat Abu Daud dan ibnu Hibban)

Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:

"Sesungguhnya seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)

Jangan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain

Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan manusia.

Larangan pertama. tentang memperolokkan orang lain. Oleh karena itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan."

Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.

Dalam hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)

Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya, perangainya atau karena kemiskinannya?

Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)

Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan,

Firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata: 'Sungguh mereka itu orang-orang yang sesat.' Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka. Oleh karena itu pada hari ini orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang kafir itu." (al-Muthaffifin 29-34)

Ayat ini31 dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini menunjukkan, bahwa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang biasa terjadi di kalangan mereka.

Jangan Mencela Diri-Diri Kamu

Larangan kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan) dan ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: 'aib (cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya.

Penafsiran ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat. Seperti kata seorang penyair:

Luka karena tombak masih dapat diobati
Tetapi luka karena lidah berat untuk diperbaiki.
Bentuk larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.

Ayat tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh. Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri. Karena dia itu dari dan untuk saudaranya.

Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik

Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan beberapa gelar yang tidak baik, yaitu suatu panggilan yang tidak layak dan tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.

Tidak layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini bisa menyebabkan berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan dan perasaan yang tinggi.

Su'uzh-Zhan (Berburuk Sangka)

Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,

Untuk itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa." (al-Hujurat: 12)

Sangkaan yang berdosa, yaitu sangkaan yang buruk.

Oleh karena itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya bersih. Oleh karena itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini justru untuk menuduh. Sabda Nabi:

"Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan." (Riwayat Bukhari)

Manusia karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan baik.

Oleh karena itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.

Inilah makna hadis Nabi yang mengatakan:

"Kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat Thabarani)

Tajassus (Memata-matai)

Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh karena itu larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi karena adanya tajassus.

Setiap manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan bersembunyi.

Abul Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi-- berkata: saya pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi nasehatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya larang tetapi mereka tidak mau berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:

"Barangsiapa menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)

Rasulullah s.a.w. menilai, bahwa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w, pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras:

"Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat saudara muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam perjalanan yang jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

Maka demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi:

"Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk menusuk matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Diharamkan juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya. Sabda Nabi:

"Barangsiapa mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah." (Riwayat Bukhari)

Al-Quran mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada penghuninya.

Firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk, sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge tahui apa saja yang kamu kerjakan." (an-Nur: 27-28)

Di dalam hadis Nabi, juga dikatakan:

"Barangsiapa membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)

Nas-nas larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda:

"Sesungguhnya kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu." (Riwayat Abu Daud dan ibnu Hibban)

Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:

"Sesungguhnya seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)